A. Pengertian
Motivasi
Kata
motivasi (motivation) kata dasarnya adalah motif (motive) yang
berati dorongan, sebab atau alasan seseorang melakukan sesuatu. Dengan demikian
motivasi berarti suatu kondisi yang mendorong atau menjadi sebab seseorang
melakukan suatu perbuatan/kegiatan yang berlangsung secara sadar. Dari
pengertian tersebut berarti pula semua teori motivasi bertolak dari prinsip
utama bahwa manusia (seseorang) hanya melakukan suatu kegiatan yang
menyenangkannya untuk dilakukan. Prinsip itu tidak menutup kemungkinan bahwa
dalam keadaan terpaksa seseorang mungkin saja melakukan sesuatu yang tidak
disukainya. (Nawawi, 2000:351).
Kast
dan James (2002:398) mengemukakan bahwa motif adalah apa yang menggerakkan
seseorang untuk bertindak dengan cara tertentu atau sekurang-kurangnya
mengembangkan suatu kecenderungan perilaku tertentu. Dorongan untuk bertindak
inidapat dipicu oleh suatu rangsangan luar, atau lahir dari dalam diri orang
itu sendiri dalam proses fisikologi dan pemikiran individu itu. Perbedaan
motivasi niscayalah merupakan factor terpenting untuk memahami dan meramalkan
perbedaan dan prilaku individual.
Robbins
(2003: 2008) memberikan pengertian motivasi sebagai suatu proses yang
menghasilkan suatu intensitas , arah, dan ketekunan individual dalam usaha
untuk mencapai tujuan. Sukarno, 2002:13 mendefenisikan motivasi adalah
hasrat/kemauan untuk melakukan tingkat upaya yang tinggi ke arah tujuan
organisasi. Dengan demikian, motivasi merupakan bagian integral dalam upaya
mengoptimalkan pengendalian manajemen suatu organisasi.
Secara garis besar, teori motivasi dikelompokkan menjadi 4
kelompok yaitu Teori motivasi dengan pendekatan penguat (reinforcement theory), Teori harapan (Expectetensy),
Teori tujuan sebagai motivasi dan Teori kebutuhan (Need) dari Abraham
Maslow.
1. Teori
motivasi dengan pendekatan penguat (reinforcement
theory)
Teori ini banyak
dipergunakan dan fundamental sifatnya dalam proses belajar, dengan
mempergunakan prinsip yang disebut “Hukum Ganjaran (Law Of Effect)“.
Hukum itu mengatakan bahwa suatu tingkah laku yang mendapat ganjaran
menyenagkan akan mengalami penguatan dan cenderung untuk diulangi. Misalnya
memperoleh nilai baik dalam belajar mendapat pujian atau hadiah, maka cenderung
untuk dipertahankan dengan mengulangi proses belajar yang pernah dilakukan.
Demikian pula sebaiknya suatu tingkah laku yang tidak mandapat ganjaran, tidak
akan mengalami penguatan, karena cenderung tidak diulangi, bahkan duhindari.
Berdasarkan uraian diatas jelas bahwa penguatan (reinforcement) pada
dasarnya berarti pengulangan kegiatan karena mendapat ganjaran. Ganjaran selain
berbentuk material, dapat pula bersifat non material. Ganjaran berarti juga
memberi insentif. Oleh karena itu teori ini sering disebut “ teori insentif “.
Disamping itu teori ini bersumber juga dari teori tingkah laku berdasarkan
hubungan antara perangsang dan respons (Stimulus – Respons atau S-R Bond). Suatu
perangsang yang diiringi dengan suatu 99 persyaratan, cenderung untuk diiringi
dengan respon yang tetap. Dengan kata lain suatu peransang yang dikondisikan
sebagai suatu persyaratan, akan mendapat respons yang sama atau respons yang
diulang sehingga sering terjadi meskipun perangsangnya tidak ada tetapi
persaratannya di munculkan, maka respon yang sama akan di lakukan. Sehubungan
dengan itu teori ini di sebut juga teori “operasional bersyarat” Contoh
sederhana dari kegiatan ini terlihat pada hewan seperti lumba-lumba, yang
mendapat insentif ikan kecil untuk di makan, setiap kali berhasil melompati
lingkaran api di kolamnya. Demikian juga dari percobaan Pavlov dengan
seekor anjing yang di bedah kantong kelenjar air liurnya. Setiap kali di beri
makan dibuat kondisi bersarat dengan menghidupkan lampu merah, dan air liurnya
keluar. Setelah berulang kali di lakukan, air liurnya tetap keluar jika lampu
merah dinyalakan, meskipun tanpa di beri makanan.
Implementasi teori ini
di lingkungan sebuah organisasi/ perusahaan para menejer mampu mengatur cara
pemberiaan insentif dalam memotivasi para pekerja, agar melaksanakan tugas dan
tanggung jawabnya di upayakan mampu mewujudkan penguatan bagi kegiatan
pelaksanaanya pekerjaan yang efektif dan efisien. Untuk itu insentif sebagai
perangsang agar menghasilkan respon pelaksanaan pekerjaan yang di ulang atau
bersifat penguatan, harus di berikan dengan persyaratan operasional antara lain
berupa peryaratan kreativitas, produktivitas, prestasi dan lain-lain.
2. Teori harapan (Expectetensy)
Teori ini berpegang pada
prinsip yang mengatakan : terhadap hubungan yang erat antara pengertian seorang
mengenai suatu 100 tingkah laku, degan hasil yang ingin di perolehnya sebagai
harapan. Dengan demikian berarti juga harapan merupakan energi penggerak untuk
melakukan suatu kegiatan yang karena terarah untuk mencapai suatu kegiatan,
yang karena terarah untuk mencapai suatu yang di inginkan di sebut “usaha”.
Usaha di lingkungan para pekerja dilakukan berupa kegiatan yang di sebut
bekerja, pada dasarnya di dorong oleh harapan tertentu. Usaha yang dapat di
lakukan pekerja sebagai individu di pengaruhi oleh jenis dan kualitas kemampuan
yang di milikinya, yang di wujudkan berupa keterampilan/keahlian dalam bekerja.
Berdasarkan hal tadi akan memperoleh hasil, yang sesuai dengan harapan akan
dirasakan sebagai ganjaran yang memberikan rasa kepuasan.
Implementasinya di
lingkungan sebuah perusahan dapat di lakukan sebagi berikut:
a.
Manejer perlu membantu para pekerja
memahami tugastugas/ pekerjaanya, di hubungkan dengan kemampuan atau jenis dan
kualitas keterampilan/keahlian yang di milikinya.
b.
Berdasarkan pengertian itu, manejer
perlu membantu para pekerja agar memiliki harapan yang realistis, yang tidak
berlebihan. Harapannya tidak melampaui usaha yang dapat dilakukannya sesuai degan
kemampuan yang di milikinya.
c.
Manejer perlu membantu para pekerja
dalam meningkatkan keterampilan dalam bekerja, dalam meningkatkan harapanya,
dan akan meningkatkan pula usahanya melalui pelaksanaan pekerjaan yang semakin
efektif dan efisien.
3. Teori tujuan sebagai motivasi
Setiap pekerja yang memahami dan menerima dan
menerima tujuan organisasi/perusahan atau unit kerjanya, dan merasa sesuai 101 degan
dirinya akan merasa ikut bertanggung jawab dalam mewujudkannya. Dalam keadaan
seperti ini tujuan akan berfungsi sebagai motivasi dalam bekerja, yang
mendorong para pekerja memilih alternatif cara bekerja yang terbaik atau yang
paling efektif dan efisien.
Implementasi dari teori ini dilingkungan suatu
perusahaan dapat di wujudkan sebagai berikut:
a. Tujuan
unit kerja atau tujuan organisasi merupakan fokus utama dalam bekerja. Oleh
karena itu para menejer perlu memiliki kemampuan merumuskannya secara jelas dan
terinci, agar mudah di pahami para pekerja. Untuk itu para menejer perlu
membantu pekerja jika mengalami kesulitan memahami dan menyesuaikan diri dengan
tujuan yang hendak di capai.
b. Tujuan
perusahaan menentukan tingkat intensitas pelaksanaan pekerjaan, sesuai dengan
tingkat kesulitan mencapainya. Untuk itu para menejer perlu merumuskan tujuan
yang bersifat menentang, sesuai dengan kemampuan pekerja yang ikut serta
mewujudkannya.
c. Tujuan
yang sulit menimbulkan kegigihan dan ketekunan dalam usaha mencapainya,
melebihi dari tujuan yang mudah mencapainya. Untuk itu para menejer perlu
menghargai para pekerja yang berhasil mewujudkan tujuan unit kerja atau
perusahaan yang sulit mencapainya.
4. Teori kebutuhan (Need) dari
Abraham Maslow.
Setiap manusia memiliki
kebutuhan dalam hidupnya, bahwa kebutuhan tersebut terdiri dari Kebutuhan
Fisik, Kebutuhn Psikologi, dan Kebutuhan Spritual. Dalam teori ini kebutuhan di
artikan sebagi kekuatan/tenaga (energi) yang menghasilkan dorongan bagi
individu untuk melakukan kegiatan, agar dapat memenuhi kebutuhan tersebut.
Kebutuhan yang sudah terpenuhi tidak berfungsi untuk kehilangan kekuatan dalam
memotivasi 94 kegiatan, sampai saat timbul kembali sebagai kebutuhan baru yang
mungkin saja sama dengan sebelumnya.
Untuk jelaskanya dapat
dilihat dalam ilustrasi gambar Hierarki Kebutuhan Maslow:

Hierarki Kebutuhan
Maslow Maslow dalam teorinya mengetengahkan tingkatan (herarchi) kebutuhan,
yang berbeda kekuatannya dalam motivasi seorang melakukan suatu kegiatan.
Dengan kata lain kebutuhan bersifat bertingkat, yang secara berurutan berbeda
kekuatannya dalam memotivasi suatu kegiatan termasuk juga yang disebut bekerja.
Urutan tersebut dari yang terkuat sampai yang terlemah dalam memotivasi terdiri
dari kebutuhan fisik, kebutuhan rasa aman, kebutuhan sosial, kebutuhan
status/kekuasaan dan kebutuhan aktualisasi diri. (Sigit, 2003, 46). Maslow
tidak mempersoalkan kebutuhan spritual, yang sebenarnya cukup penting/dominan
perannya sebagai motivasi, 95 terutama dilingkungan pemeluk suatu
agama/kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa. Sehubungan dengan itu Maslow mengetengahkan
beberapa asumsi dari urutan atau tingkatan kebutuhan yang berbeda kekuatannya.
Dalam memotivasi para
pekerja disebuah organisasi/perusahaan. Asumsi itu adalah sebagai berikut :
a.
Kebutuhan yang lebih rendah adalah yang
terkuat, yang harus dipenuhi lebih dahulu. Kebutuhan itu adalah kebutuhan fisik
(lapar, haus, pakaian, perumahan, dll) Dengan demikian kebutuhan yang terkuat
yang memotivasi seorang bekerja adalah untuk memperoleh penghasilan, yang dapat
digunakan dalam memenuhi kebutuhan fisik.
b.
Kebutuhan–kebutuhan dalam memotivasi
tidak lama, karena setelah terpenuhi akan melemah atau kehilangan kekuatannya
dalam memotivasi. Oleh karena itu usaha memotivasi dengan memenuhi kebutuhan
pekerja, perlu diulang-ulang apabila kekuatannya melemah dalam mendorong para
pekerja melaksanakan tugas-tugasnya.
c.
Cara yang dapat digunakan untuk memenuhi
kebutuhan yang lebih tinggi ternyata lebih banyak daripada untuk memenuhi
kebutuhan yang berbeda pada urutan yang lebih rendah misalnya untuk memenuhi
kebutuhan fisik, cara satusatunya yang dapat digunakan dengan memberikan
penghasilan yang memadai/mencukupi. Sedang untuk kebutuhan aktualisasi diri
dapat digunakan banyak cara, yang memerlukan kreatifitas dan inisiatif para
menejer.
Secara
ringkas kebutuhan Maslow ialah:
1) tidak
ada kebutuhan yang terjadi bersamaan di antara kategori-kategori kebutuhan,
2) kebutuhan
dipuaskan terlebih dahulu dari yang paling bawah,
3) kebutuhan
di tingkat atas dipenuhi, jika 96 kebutuhan yang ada di tingkat bawah sudah
terpuaskan,
4) kebutuhan
aktualisasi diri tidak pernah terpuaskan, selalu terus menerus untuk dipenuhi
tiada henti-hentinya,
5) kebutuhan
yang belum terpuaskan menjadi pendorong atau motivasi perbuatan/perilaku.
5. Relevansi
Kepuasan Kerja dalam Organisasi
Sebenarnya ada beberapa alasan lain
yang dapat menimbulkan dan mendorong kepuasan kerja (Indrawijaya.2000)
yaitu :
- Pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan keahlian
- Pekerjaan yang menyediakan perlengkapan yang cukup
- Pekerjaan yang menyediakan informasi yang cukup lengkap
- Pimpinan yang lebih banyak mendorong tercapainya suatu hasil yang tidak terlalu banyak atau ketat melakukan pengawasan.
- Pekerjaan yang memberikan penghasilan yang cukup memadai.
- Pekerjaan yang memberikan tantangan untuk lebig mengembangkan diri.
- Pekerjaan yang memberikan rasa aman dan ketenangan.
- Harapan yang dikandung pegawai itu sendiri.
Kepuasan kerja berkaitan pula dengan
teori motivasi salah satunya yang dikemukakan oleh Herzberg dalam Hicks
dan Guliet (1996) yaitu teori motivasi hygiene, teori
motivasi/pemeliharaan dan teori kedua faktor merupakan teori motivasi
eksternal, karena manajer mengendalikan faktor yang menghasilkan kepuasaan atau
ketidakpuasan pekerjaan. Dari penelitian Herzberg bahwa faktor hygiene yang
mempengaruhi ketidakpuasan kerja dan para motivator yang mempengaruhi kepuasan
kerja seperti halnya faktor hygiene membantu individu dalam menghindarkan
individu merasa senang dengan ekerjaannya. Sedangkan faktor yang menyebabkan
ketidakpuasan tidak secara langsung akan menimbulkan kepuasan kerja (Indrawijaya.2000).\
Job enrichment adalah memperluas rancangan tugas untuk
memberi arti lebih dan memberikan kepuasan kerja dengan cara melibatkan pekerja
dengan pekerjaan perencanaan, penyelenggaraan organisasi dan pengawasan
pekerjaan sehingga job enrichment bertujuan untuk menambah tanggung jawab dalam
pengambilan keputusan, menambah hak otonomi dan wewenang merancang pekerjaan
dan memperluas wawasan kerja.
B. Job
Enrichment
1. Job
enrichment
Job enrichment dapat meningkatkan otonomi seseorang dalam
mengatur pekerjaannya. Misalnya seorang petugas di dalam melakukan pekerjaannya
sebelum diatur oleh suatu prosedur yang ketat, di mana dia tidak di berikan
wewenang atau hak untuk memilih metode yang dia anggap paling efektif, untuk
memilih bahan-bahan yang di butuhkan, atau untuk mengatur pekerjaannya.
Perubahan ini akan memberikan tantangan yang lebih besar bagi dia dan
diharapkan dapat meningkatkan kepuasan kerja dan produktifitasnya.
2. Langkah-Langkah dalam Redesign
Pekerjaan Untuk Job Enrichment
A.
Menggabungkan
beberapa pekerjaan menjadi satu.
·
Menjadi
lebih besar
·
Lebih bervariasi
·
Kecakapan
lebih luas
B.
Memberikan
modul kerja untuk setiap pekerja.
C.
Memberikan
kesempatan pada setiap pekerja untuk dapat bertanggung jawab.
·
Kesempatan
mengatur prosedur kerja sendiri
D.
Memberikan
kesempatan pekerja menghubungi kliennya sendiri secara langsung.
·
Orang
– orang yang berhubungan dengan pelaksanaan kerjanya.
E.
Menciptakan
sarana – sarana umpan balik.
·
Pekerja
dapat memonitor koreksi diri.
3. Pertimbangan-Pertimbangan Dalam Job
Enrichment
1)
Jika
pekerjaan terspesialisir dan sederhana dirancang kembali untuk memotivasi
secara intrinsik pada pekerja, maka kualitas pelaksanaan kerja pekerja akan
meningkat.
2)
Absensi – absensi dan perpindahan
kerja akan berkurang.
3)
Dimensi
inti yang berkaitan dengan motivasi intrinsik & lapangan kerja ( Hackman
dan Oldham ), yaitu:
·
Keragaman ketrampilan (skill variety)
Banyaknya ketrampilan yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan.
Makin banyak ragam ketrampilan yang digunakan, makin kurang membosankan
pekerjaan. Misalnya, seorang salesman diminta untuk memikirkan dan menggunakan
cara menjual yang berbeda, display (etalase) yang berbeda, cara yang lebih baik
untuk melakukan pencatatan penjualan.
·
Jati diri tugas (task identity)
Tingkat sejauh mana penyelesaian pekerjaan secara keseluruhan
dapat dilihat hasilnya dan dapat dikenali sebagai hasil kinerja seseorang. Tugas
yang dirasakan sebagai bagian dari pekerjaan yang lebih besar dan yang
dirasakan tidak merupakan satu kelengkapan tersendiri menimbulkan rasa tidak
puas. Misalnya, seorang salesman diminta untuk membuat catatan tentang
penjualan dan konsumen, kemudian mempunyai dan mengatur display sendiri.
·
Tugas yang penting (task significance)
Tingkat sejauh mana pekerjaan mempunyai dampak yang berarti bagi
kehidupan orang lain, baik orang tersebut merupakan rekan sekerja dalam suatu
perusahaan yang sama maupun orang lain di lingkungan sekitar. Jika tugas
dirasakan penting dan berarti oleh tenaga kerja, maka ia cenderung mempunyai
kepuasan kerja. Misalnya, sebuah perusahaan alat-alat rumah tangga ingin
mengeluarkan produk panci baru. Para karyawan diberikan tugas untuk mencari
kriteria seperti apa panci yang sangat dibutuhkan oleh ibu-ibu masa kini.
(tugas tersebut memberikan kepuasan tersendiri bagi karyawan karena hasil
kerjanya nanti secara langsung akan memberi manfaat kepada pelanggan)
·
Otonomi
Tingkat kebebasan pemegang kerja, yang mempunyai pengertian
ketidaktergantungan dan keleluasaan yang diperlukan untuk menjadwalkan
pekerjaan dan memutuskan prosedur apa yang akan digunakan untuk
menyelesaikannya. Pekerjaan yang memberi kebebasan, ketidaktergantungan dan
peluang mengambil keputusan akan lebih cepat menimbulkan kepuasan kerja.
Misalnya, seorang manager mempercayai salah satu karyawan untuk memperebutkan
tender dari klien. Karyawan tersebut menggunakan ide dan caranya sendiri untuk
menarik perhatian klien . Karyawan diberi kebebasan untuk mengatur sendiri
waktu kerja dan waktu istirahat.
·
Umpan balik (feed back)
Memberikan informasi kepada para pekerja tentang hasil pekerjaan
sehingga para pekerja dapat segera memperbaiki kualitas dan kinerja pekerjaan.
Misalnya, dalam menjual produk salesman didorong untuk mencari sendiri
informasi, baik dari atasan maupun dari bagian‑bagian lain, mengenai segala hal
yang berkaitan dengan jabatannya serta meminta pendapat konsumen tentang barang‑barang
yang dijual, pelayanan, dll.
Jadi kondisi psikologis kritis karyawan yang muncul karena adanya
dimensi utama dalam tugas akan mempengaruhi hasil kerja karyawan yang telah
termotivasi secara internal. Berhasil atau tidaknya hasil kerja dalam job
enrichment tergantung oleh kekuatan kayawan untuk berkembang dan berpikir
positif.
Sumber : Tahir, Arifin. (2014). Buku Ajar perilaku Organisasi. Yogyakarta:DEEFPUBLISH
Sumber : Tahir, Arifin. (2014). Buku Ajar perilaku Organisasi. Yogyakarta:DEEFPUBLISH