Minggu, 27 Maret 2016

CBT ( Cognitive Behaviour Therapy)

CBT ( Cognitive Behaviour Therapy)

1.      Konsep dasar dalam CBT
CBT merupakan sejumlah terapi yang berfokus pada kognisi sebagai mediator ketegangan dan disfungsi psikologis. CBT disebut juga dengan istilah Cognitive Behavioral Modification merupakan salah satu terapi modifikasi fungsi berpikir, merasa, dan bertindak dengan cara membuang pikiran dan keyakinan buruk klien, untuk diganti dengan konstruksi pola pikir yang lebih baik. Jadi, kunci dalam terapi ini adalah berusaha mengubah pola pikiran yang negatif ke arah yang positif. Cognitive Behavior Therapy (CBT) dapat digunakan dalam rangka membantu menangani masalah psikologis seperti: depresi, kecemasan dan gangguan panik.

2.      Unsur-unsur dalam CBT
Terapi Cognitive Behavior Therapy ini mendasarkan pada pokok yakni :
1)      Aktivitas kognitif mempengaruhi perilaku
2)      Aktivitas kognitif dapat dipantau dan diubah ubah
3)      Perubahan perilaku yang dikehendaki dapat dilakukan melalui perubahan kognitif.

3.      Tujuan Therapy
Tujuan Cognitive Behavior Therapy adalah untuk mengajak klien menentang pikiran dan emosi yang salah dengan menampilkan bukti-bukti yang bertentangan dengan keyakinan mereka tentang masalah yang dihadapi. Konselor diharapkan mampu menolong klien untuk mencari keyakinan yang sifatnya dogmatis dalam diri klien dan secara kuat mencoba menguranginya.

4.      Teknik Therapy
·         Self Instructional Coping Methods (Meichenbaum)
Konsep Self Instructional Coping Methods yaitu mengganti pikiran negatif menjadi positif.
Self instruction → untuk mengubah perilaku
Langkah-langkah dalam Self Instructional Coping Methods :
-    Mengidentifikasi stimulus yang menyebabkan stress → negative self statement.
-     Melalui modelling atau behaviour rehearsal → klien belajar self talk untuk menetralisir negative self statement ketika situasi yang menimbulkan stress muncul.
-     Mengajarkan klien self instruction (misalnya menarik napas panjang).
-     Mengajarkan klien self reinforcing setelah berhasil menguasai situasi.

·         Problem – Solving Methods (Dzurilla & Golfried)
Problem solving mengandung proses perilakuan, baik overt (tampak), atau kognitif yang menyediakan berbagai alternatif respon efektif untuk menyelesaikan situasi problematis, dan meningkatkan kemungkinan memilih respon-respon yang paling efektif dari berbagai alternatif tersebut.
Tujuan Pelatihan : bukan untuk memberikan solusi tetapi memberikan ketrampilan umum supaya individu memiliki kemampuan menyelesaikan berbagai problem secara efektif.
Tahap Problem Solving
1.      Orientasi Umum
-      Menjelaskan dasar pikiran
-      Mengarahkan pemahaman yang merupakan bagian hidupnya.
-      Menekankan pada klien bahwa ia harus belajar mengenali situasi yang terjadi dan responnya yang seharusnya tidak dimunculkan secara otomatis
-      Klien dapat bertanya
-      Klien menceritakan situasi problematis yang dialami dan reaksi yang berhubungan dengan pemikiran dan perasaannya.
2.      Definisi & Formulasi Problem
-       Pada mulanya klien menceritakan problem secara samar dan abstrak (gambaran umum)
-      Klien harus belajar menceritakan problem secara spesifik dan mendetail.
-      Tidak hanya menceritakan kejadian yang eksternal, tetapi juga pikiran dan perasaan yang terlibat di dalamnya.
-      Klien belajar memisahkan informasi yang tidak relevan dan memfokuskan pada informasi yang berhubungan dengan problemnya.
3.      Membuat Alternatif
-       Setelah mendefinisikan masalah dnegan tepat, klien diinstruksikan melakukan brainstorming tentang solusi-solusi yang mungkin dilakukan.
-      Setelah klien mengidentifikasi beberapa alternatif respon penting, ia siap membuat keputusan berkaitan dengan strategi berikutnya.
4.      Mengambil Keputusan
-       Membuat estimasi dari beberapa alternatif yang muncul
-      Memperkirakan kemungkinan efektivitas dan konsekuensi jangka pendek dan panjang.
-      Membuat evaluasi.
5.      Verifikasi
-       Setelah ditemukan pemecahan masalah, dibuat pelatihan dan diwujudkan dalam kehidupan nyata dalam tingkah lakunya.
-      Terapis perlu memotivasi dan membimbing klien untuk menerapkan tingkah laku yang dipilih.
-      Mengevaluasi apa yang telah dilakukan.

5.      Contoh kasus
Jakarta, CNN Indonesia -- Emily Titterington (16) memiliki fobia toilet dan sering menahan keinginannya untuk buang air besar (BAB) sampai lebih dari dua bulan. Karena ketakutan yang berlebihan tersebut, Emily meninggal dunia akibat serangan jantung yang disebabkan oleh sembelit, setelah delapan minggu tidak BAB.
Akibat terus-menerus menahan BAB, ususnya tumbuh semakin besar sehingga rongga dadanya mendapat tekanan lebih, dan menyebabkan pergerakan organ lainnya.
Nyawa remaja yang berasal dari Cornwall, Inggris, ini sebenarnya masih dapat diselamatkan dengan pengobatan yang sesuai, tapi ia menolak untuk diperiksa secara medis.
Patologist Home Office Dr Amanda Jeffery mengatakan gejalanya berlanjut dengan kondisi yang dikenal sebagai ‘penahanan tinja’, yang biasanya lebih sering terjadi pada anak-anak. Pemeriksaan post-mortem mengungkapkan bahwa Emily mengalami pembesaran masif pada usus besar.
“Itu tidak seperti apa yang pernah saya lihat sebelumnya. Itu sangat dramatis,” ujar Dr Amanda Jeffery, seperti dilansir dari laman Telegraph.
Tim pemeriksa koroner menyebutkan, Emily mengidap autisme ringan dan menderita masalah usus, tetapi dokter tidak mampu menentukan penyebabnya.
Dokter pribadinya, Dr Alistair James, mengatakan pada beberapa waktu menjelang kematiannya, ibunya Emily, Geraldine (59), telah berjuang untuk membujuknya menjalani pemeriksaan medis. Dr James telah memberikan obat pencahar tetapi tidak memeriksa perut Emily.
"Seandainya saya melakukannya (memeriksa perut Emily), kita mungkin akan berbicara hal lain," kata Dr James. "Kematiannya bisa dihindari dengan pengobatan yang tepat pada titik yang tepat."
Emily kolaps di rumahnya di St Austell pada 8 Februari 2013. Paramedis telah mencoba menghidupkannya kembali, tapi kemudian Emily dinyatakan meninggal dunia di rumah sakit. Pemeriksaan kasus kematiannya kemudian berlanjut hingga ke pengadilan.
Paramedis Lee Taylor mengatakan mendatangi rumah keluarga Emily dua kali pada malam kematiannya. Pada kedatangan pertama, ia menggambarkan keadaan Emily seperti ‘tampak pucat’ dan dia mengeluh sakit antara tulang bahunya. Namun, Emily menolak untuk pergi ke rumah sakit dan enggan untuk diperiksa. Menurutnya, Emily mengenakan baju longgar dan ia tidak melihat pembengkakan di perutnya.
Tak lama setelah kembali ke rumah sakit, Taylor mengatakan kembali dihubungi oleh keluarga Emily. "Kami dialokasikan ke sebuah keadaan darurat di rumah yang baru saja kami tinggalkan. Ketika kami tiba, ayah Emily, James, di luar berteriak kepada kami untuk meminta bantuan, dan mengatakan telah terjadi sesautu yang salah,” kata Taylor.
"Ketika Emily dipindahkan, saya bisa melihat perutnya kelihatan memanjang. Tulang rusuk bawahnya terdorong keluar dari tulang kemaluannya. Saya sangat terkejut.”
Ibunya mengatakan bahwa Emily belum pergi ke toilet selama enam sampai delapan minggu dan itu sudah biasa terjadi. Dalam pernyataan yang dibacakan di pengadilan, saudara ipar Emily, Brian Herbert, berkata keluarganya telah mencoba berbagai solusi yang berbeda untuk mengatasi kondisi usus Emily.

  1. Sumber
Roberts, Albert R & J, Gilbert. 2008.  Buku Pintar Pekerja sosial.  PT BPK Gunung Mulia: Jakarta
Singgih D, Gunarsa. 2007. Konseling dan Psikoterapi. PT BPK Gunung Mulia: Jakarta